Add Math – Making Video Lesson

This year is the second academic year of home-based learning. The official statement from CIE about exam cancellation for May-June 2021 batch is followed by Teacher-Assessed Grades. Shortly, CIE wanted every student who has registered to get the certificate, must take three pieces of assessment on each subject, made by the school’s teachers.

One piece given by me was a combined score between part one “Oral Test” and part two “Making Video Lesson”.

This is the example of part one:

In part two, Students created a video lesson when answering one question with minimum of 6 marks from any past papers.

Then suddenly, everyone can be as unique as Salman Khan in Khan Academy 😀 .

I compiled the videos in my youtube channel under playlists “Students’ Project – Video Lesson”. And published publicly to every student from all over the world when need extra past paper questions with explanation for IGCSE exam preparation, one day, later.

The three videos below are examples. The other videos can be downloaded from http://gg.gg/G10Project2021. I am still in the progress of uploading the videos from all my G10 students. 

Enjoy!

#remotelearning

#distancelearning

#homebasedlearning

 

Liku-liku Menuju Sekolah Tatap Muka (Kembali)

Artikel Utama Kompasiana

Siapa yang tak sabar untuk kembali belajar di dalam gedung Sekolah?

Banyak pihak sudah tak sabar menanti hal itu. Siswa, Sekolah, Orang Tua, Guru, kami semua yang terlibat dalam dunia sekolah. Rasanya memiliki kerinduan yang sama.

Siswa, ingin bertemu, bermain, makan di kantin, ber”gila-gilaan” di sekolah.

Orang Tua, ingin sedikit berlega di rumah, capai setiap hari dengan mendampingi anak belajar dari rumah.

Sekolah, ingin kembali membuka gedungnya dihiasi dengan aktivitas belajar mengajar kembali. Itulah identitas sekolah.

Guru, ingin bertemu dengan siswa-siswanya yang kadang membuat senang, kadang sedih, kadang bikin emosi 😀 .

Sejauh pihak orang tua dan sekolah menyetujui terjadinya pembelajaran di gedung sekolah, silahkan saja dilakukan. Itupun sudah dikumandangkan oleh Menteri Pendidikan sejak beberapa saat yang lalu. 

Yang saya herankan adalah, mengapa banyak pihak di luar itu yang suka sekali berkomentar tentang masuk sekolah ini. Yang mendukung (cenderung memaksa) agar gedung sekolah dibuka kembali demi tidak semakin “learning loss”. 

Yang menolak bersikukuh dengan jangan membahayakan anak-anak pergi berkumpul di sekolah dengan pandemi covid ini yang malah berlanjut dengan varian baru. Jadi terlalu banyak campur tangan berbagai pihak, aromanya menjadi politis.

Ah, biarlah, itu menjadi urusan pembuat kebijakan. Bagian saya hanya bagaimana membawa pembelajaran berlangsung baik dan bermakna 😀 .

Sekolah Tatap Muka. Tatap muka di sini lebih kepada bertemu secara fisik. Karena jika hanya tatap muka, belajar secara daring juga kita menatap wajah siswa kan (jika sedang menggunakan bantuan alat untuk konperensi)?

Apakah dengan tatap muka menjadikan pembelajaran lebih bermakna? Bagi saya, tidak juga, tergantung makna bagian mana yang ingin dibahas. 

Lebih bermakna, iya, jika kita ingin membicarakan memupuk pertemanan antar siswa, bersosialisasi antar siswa, siswa dengan guru. Namun jika bermaknanya dimaksud untuk supaya tidak tertinggal pelajaran, nah itu dilihat dari sudut mana dulu. Jangan digeneralisir. Harus dilihat berdasarkan daerah, sekolah dan sosial budaya penduduknya. Menyamakan satu Indonesia bahwa kondisi pandemi telah menciptakan “learning loss” adalah salah kaprah.

Jika bersekolah didefinisikan memperoleh berbagai macam pelajaran (12 – 15 mata pelajaran seminggu) dengan isi kompetensi kurikulum yang harus diselesaikan, maka mudah sekali kita terjebak dengan mengatakan telah terjadi “learning loss”. 

Bagai buah simalakama bagi guru dan sekolah. Ingin mengambil langkah kebijakan mengurangi jumlah materi, dianggap gagal mengajar, jeleknya dianggap tidak bisa mengajar, tidak bisa mengatur rencana pembelajaran sehingga materi tidak selesai. Materi tidak selesai, ditegur sekolah, sekolah ditegur pengawas karena laporan tidak tuntas. Akibatnya peringkat sekolah mungkin terpengaruh. Begitu saja terus bagai lingkaran setan.

Kemendikbud sudah menyatakan bahwa kurikulum ada penyesuaian. Tapi susah sekali bagi pandangan insan pendidik bahwa dirinya sudah diberi kebebasan untuk merancang kurikulumnya sendiri di dalam kelas (online) bersama dengan siswanya. Saya sangat mempercayai bahwa kurikulum itu adalah yang terjadi di kelas antara guru dengan siswanya. Merdeka Belajar. Mari Bergerak. Guru Penggerak. 

Begitu banyak kata-kata semangat untuk guru, jadi jangan takut. Guru bukan sedang mengajari siswanya ikutan kejuaraan / kompetisi / olimpiade. Bukan semua dijadikan untuk “champion” level akademis saja. Ini sulit, sulit sekali. Keenakan gurunya disuruh bebas merdeka mengajar, nanti siswanya diajarin yang tidak-tidak, wah bahaya. Susah kan? Gurunya tidak dipercaya lagi. Katanya merdeka, bergerak, penggerak tapi tetap diatur, lalu gurunyapun sering terjebak mengatakan harus bagaimana nih tidak ada juklak juknis, dikasih merdeka tetapi maunya tetap seragam berdalih kebersamaan. Susah juga.

Belum lagi demi dibukanya gedung sekolah untuk memulai sekolah tatap muka, banyak sekali webinar dari berbagai pihak diadakan, dengan tema dan judul (terutama) wow sekali, kita (guru) mau dibantu, dipersiapkan, dibekali dengan pengetahuan, kiat-kiat, tips bagaimana membuka sekolah tatap muka kembali. Bagus tidak? Bagus, asal guru benar-benar paham webinar yang cocok untuk diikuti dan didengar. 

Minimal paham bagian mana yang mau didengar. Bukan menaruh semua rasa percaya akan apa yang dikatakan pembicara di dalam webinar. Mengapa? Lha mungkin sekali yang membuat webinar, yang berbicara mengarahkan bagaimana membuka sekolah di masa pandemi itu bukanlah orang yang bekerja di sekolah. Bukanlah guru yang terlibat langsung di sekolah bersama siswa seperti anda para guru. Lalu mengapa mereka yang lebih pintar mengajarkan semuanya kepada guru dan sekolah? 🤔 Jadi memilah dan memilihlah yang paling tepat dan cocok bagi anda dan sekolah anda.

Jika pertanyaan ditujukan kepada diri saya sendiri, siapkah dengan sekolah tatap muka? Siap, walau bagi saya sama sekali tidak ada kendala dan rumor tidak baik tentang pjj. Kami (saya dan kebanyakan siswa) sangat menikmati interaksi dalam belajar selama pjj. 

Siapkah dengan pembelajaran hibrida? Belum, masih mencari bentuk. Tidak semua dari kita guru akan mendapat fasilitas super memadai untuk menyelenggarakan hibrida bukan? Banyak pihak berusaha sibuk melatih untuk hibrida, tapi seringnya berujung jualan alat bantu. Webcam / kamera canggih, papan tulis sentuh, mikrofon, dan segala rupa lain. 

Jadi bagaimana nanti hibridnya? Ya harus jalan jika hal itu terjadi, bukan? Maka saya mempercayai bahwa pertama-tama haruslah mengubah pola pikir, bukan sebatas sekolah mengejar kurikulum. 

Hibrida tidak akan menghasilkan apa-apa jika menganggap yang penting sudah ada siswa yang belajar di sekolah dan semua berjalan seperti biasa. Orang tua yang memilih anaknya tetap belajar dari rumah (karena itu hak mereka seperti instruksi kemendikbud), tidak bisa disamakan dengan anak yang diijinkan belajar di sekolah. Kendala jaringan akan selalu ada. Kesempatan bertanya langsung kepada guru juga lebih banyak dimiliki siswa yang hadir ke sekolah. 

Guru akan lebih banyak detil pekerjaannya untuk sistem hibrid ini. Pola pikir, paling penting, bagaimana guru berani bertindak misalkan dalam asesmen saja, ada asesmen di sekolah dan asesmen di rumah. Percaya pada siswa dengan menilai proses lebih penting, bukan sekedar memberi tes lalu berujung curiga siswa akan mencontek terus jika dari rumah.

Ya, banyak sekali yang masih harus dibenahi, dipahami, dimengerti dan mungkin ditambah rasa kepercayaan pada diri kita sendiri sebagai guru.

Akhir kata, semangat untuk rekan-rekan guru, selamat mempersiapkan sekolah kembali (baik tatap muka terbatas maupun jika kembali pjj).

Guru dan Asesmen

Bekerja sebagai pengajar di sekolah, sudah pasti memiliki kewajiban untuk mengajar, mendidik, dan melakukan evaluasi kepada siswa. Walaupun dalam kurun waktu 15 bulan terakhir, sekolah sebagai “gedung” berpindah lokasi ke rumah masing-masing, tugas yang dituntut tadi tidak ada yang berubah satupun. Namun tentu saja penyesuaian telah dilakukan karena “sekolah” tetap berlangsung tanpa berkumpul di satu gedung yang sama.

Mengajar secara online, sudah banyak dibahas, diulang bahas lagi dan lagi. Tentulah sudah banyak sumber yang bisa dijadikan acuan, memilih metode yang paling cocok di lingkungan siswa kita masing-masing.

Kewajiban guru yang ingin saya bahas kali ini adalah tentang penilaian / evaluasi / asesmen kepada para siswanya.

Apakah penilaian itu penting? Tentu saja, sayapun meyakini bahwa sebuah usaha, pekerjaan, tanpa penilaian adalah sia sia. Guru perlu memahami dan mengerti bahwa jenis penilaian / asesmen ini sangatlah beragam.

Yang sudah vaksin covid19 tentu sangat paham melihat kata asesmen yang dipakai di sana. Apakah kita yang baru disuntik lalu disodorin kertas tes menjawab pertanyaan? Tidak kan. Kita hanya “ditaruh” di ruangan dan diminta menunggu ada proses anomali apa pada tubuh kita sesaat setelah vaksin sampai lebih kurang 15 menit ke depan. Diobservasi, dan itulah salah satu bentuk asesmen.

Walau para pendidik alias guru sebagian sudah melalui vaksin dan melewati tahap asesmen dengan bentuk seperti itu, guru tetap berpegang teguh “tapi asesmen dari kami beda dong, kami kan guru” 😊

Bagaimana ya asesmen kepada siswa menurut pandangan guru?

Semudah mencari di kbbi, berikut kutipannya:

  1. ​Penilaian 
  2. kegiatan mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasi data atau informasi tentang peserta didik dan lingkungannya untuk memperoleh gambaran tentang kondisi individu dan lingkungannya sebagai bahan untuk memahami individu dan pengembangan program layanan bimbingan dan konseling yang sesuai dengan kebutuhan.

Di lapangan, yang terjadi, bentuk penilaian paling populer adalah tes tertulis. Salahkah? Ya tidak, hanya sebaiknya guru dapat membuat banyak variasi.

Ada yang bervariasi, tapi sebatas istilah. Macam “prompt”, yang isinya tidak beda dengan tes biasa. Apalagi matematika. “Matematika tanpa mengerjakan soal ya maaf namanya bukan matematika, anda ngajar ilmu sosial saja sana”, demikian kata seorang yang saya enggan sebut namanya 😁. Ya, baiklah.

Lalu adapula yang memakai istilah asesmen untuk membedakan secara bobot dengan evaluasi lain (saya bingung di titik ini sebenarnya, bertahun-tahun mendengar istilah asesmen yang ngawur oleh mereka).

Pandemi membawa penghapusan UN dimajukan setahun lebih awal dari seharusnya. Merdeka belajar yang sesungguhnya. Digantikan dengan AKM yang mana sampai saat ini saya masih berharap positif jika AKM berbeda dengan UN, walau ada sedikit pesimis melihat sudah bertaburannya buku-buku yang dijual berlabel “sukses AKM”, sudah mirip dengan sukses UN, sukses UTBK, sukses SNMPTN dan sukses-sukses tes standar yang lain.

Merdeka belajar membawa bentuk asesmen yang dapat disesuaikan oleh pihak penyelenggara satuan pendidikan alias sekolah. Dengan nama yang menarik macam USP, EHBBKS, dan lain-lain, memberi banyak peluang melakukan asesmen. Namun sekali lagi, yang terjadi, melulu tes tertulis.

Di era belajar dari rumah, tes tertulis tetap dipertahankan. Berbagai webinar membahas langkah tes tertulis yang mendekati terbaik. Pemikiran guru-gurupun beragam. Memberikan tes seadil-adilnya bagi siswa, siswa yang usaha sendiri dan siswa yang mungkin akan melakukan tindakan “curang”. Dua kamera dijadikan sebuah solusi pengontrolan, pun dengan kontrol layar. Di banyak sekolah, cara ini dianggap cukup baik.

Tidak ada “learning loss”, karena sekolah tetap melakukan tryout berkali-kali, pre test, test, post test, ujian sekolah, ujian akhir. Anak-anak kalau tidak diberi tes maka tidak akan belajar. Nah, makanya pencegahan praktek curang ini penting sekali. Menurut saya, memang tidak ada “learning loss” bagi sekolah yang konsisten melakukan kegiatan belajar, tapi bukan cuma sebatas tes #duh 

Saya mengenal seorang siswi kelas 12, yang sangat rajin dan kebetulan pandai pula secara akademis. Andai anak ini siswi saya, saya tidak akan tes dia berkali-kali, dia selalu menampilkan hasil baik, untuk apa dites terus? Untuk mencari celah dia tergelincir dan nilainya jatuh lalu kita sebagai guru unjuk diri menjadi sang bijaksana dan bilang “makanya nak, harus selalu belajar, jangan lengah, jangan sombong”?

Kembali ke kritisi “hanya” asesmen tertulis, buat bapak ibu guru yang sudah melakukan asesmen non tertulis, mari kita tos dulu. Buat yang melakukan tapi berasa jadi aneh di tengah-tengah lingkungan kita, tos lagi.

Saya melukiskan asesmen non tertulis, khusus ke tes lisan, adalah sebuah bentuk asesmen terbaik, terutama di masa belajar dari rumah, dan mungkin nanti di masa hibrid. Sugata Mitra beberapa kali menuliskan di sosial medianya, mendukung hal ini. Hanya Sugata Mitra? Ah gak sah. Mungkin banyak yang berpikir begitu, namun saya meyakini, saat ini, itu yang lebih baik.

Masihkah saya melakukan tes tertulis? Masih dong, tapi dibarengi dengan bentuk yang lain.

Saya mau bercerita tentang hal yang saya alami. Suatu ketika setelah tes dan memeriksa lembar jawaban para siswa, saya merasakan dorongan kuat untuk berkomunikasi  langsung dengan siswa-siswa tersebut. Alhasil, tes lisan kembali diadakan, kali ini untuk 20% jumlah siswa dan ditambah 10% siswa yang performa sehari-hari selalu baik dan konsisten saja, sebagai survey saya.

Tes lisan pun berlangsung.

“Mengapa kamu memberikan jawaban dari soal yang berbeda?” sambil saya senyum-senyum.

“Maaf bu, saya tanya soal dari kelas sebelah lalu belajar dengan guru les lalu saat tes saya tinggal salin tidak cek lagi” Hehe, anak-anak yang baik dan jujur.

“Soal ini, bagaimana ya logikanya menurutmu, coba jelaskan singkat saja”

“Maaf bu, aku lupa, tidak ingat sama sekali”

Untuk anak yang menjawab se”perfect” itu di lembar kertas dan seketika “blank”, ow baiklah.

“Begini bu jawabannya, kita lakukan dulu penyederhanaan persamaan dengan cara dikali silang lalu kita kumpulkan suku sejenis dan …….”

Kelihatan kan bedanya dua jawaban di atas?

Adakah bentuk lain selain tes lisan? Oh tentu, misalkan menulis. Sejak tahun 2013 saya sudah melakukan ini bersama siswa matematika saya kelas 8, hingga kini.

Guru-guru bebas melakukan eksplorasi sendiri, yang cocok untuk dirinya, siswanya dan sekolahnya. Yang sebaiknya jadi refleksi adalah bukan berpaku pada satu macam penilaian dan menjadi kaku kepada perubahan situasi, bahkan jaman. Janganlah kita menjadi orang yang menilai ikan dengan meyuruhnya memanjat pohon.

Berubah bukan hanya slogan.

Maju terus Pendidikan Indonesia. 

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2021. 

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake