Gagal adalah Hak

Setujukah dengan pernyataan di atas? Dengan asumsi tanpa penjelasan atau embel-embel yang lain, saya pribadi langsung setuju. Karena jika manusia tidak mengenal gagal maka dunia kita pasti bukan seperti ini.

Permasalahan di sini adalah jika pernyataan di atas mewakili suatu pernyataan lain atau kasus lain, maka ya harus dicermati lebih dalam lagi. Tidak akan langsung setuju begitu saja.

Seorang yang sedang mencari pekerjaan dan mencoba berkali-kali melamar pekerjaan ke beberapa kantor tetapi masih belum berhasil, mungkin karena kalah dalam hal pengalaman, dalam hal keluwesan saat berwawancara, dalam hal keberuntungan, wajar sekali gagal. Kita akan masih mempercayai bahwa suatu hari pasti akan lebih baik dengan cara berbeda, mungkin bukan dengan melamar pekerjaan namun dengan memulai usaha sendiri. 

Seorang siswa yang gagal dalam satu tahun ajaran, belajarnya selama ini agak asal-asalan cenderung kurang baik, ujian kenaikan kelas tidak berhasil, maka dia dikatakan gagal dan harus mengulang pembelajarannya setahun lagi. Di kasus ini, gagal bukanlah hak tapi akibat dari kelengahan siswa dalam belajar.

Seorang yang ingin mendirikan startup, memiliki modal yang besar, memiliki latar belakang keuangan keluarga yang kuat dan solid, memiliki latar belakang pendidikan yang baik dari kecil. Saat memulai usaha startupnya tidak mulus, ada gagal dan mengalami kerugian. Namun tidak mudah menyerah, tetap tegar dan usaha lagi. Bisa jadi karena bagian kehilangan modal bukan menjadi masalah terbesarnya, kerugian usahanya bukan menjadi masalahnya juga, utang pinjaman tidak terlalu dipikirkan, yang menjadi fokus utamanya adalah bagaimana berusaha lagi agar suatu saat  pasti berhasil.. 

Seorang yang lain, bermodal pas-pasan, semua dipertaruhkan untuk memulai usaha. Tapi lalu gagal. Apa yang kemungkinan besar terjadi? Boro-boro bisa kembali fokus secepat orang yang disebut pertama tadi. Orang yang ini bisa jadi masih berkutat pada sumber yang telah habis. Depresi dan menderita karena kegagalan bisa saja terjadi pada dirinya.

Kedua gagal di atas adalah tidak salah jika disebut sebagai hak. Namun gagal yang pertama memiliki hak lain yang disebut “privilege”, terutama dalam hal keuangan. Memulai kembali usahanya dengan kebebasan memakai sumber keuangan lain yang tidak terganggu dari kegagalan pertama adalah privilege tadi. Bandingkan dengan yang kehilangan semua sumber keuangan. Bahkan untuk membandingkan saja kita tidak bisa kan, rasanya memang tidak adil karena berbeda situasi dan kondisinya.

Dalam pembahasan dunia pendidikan, dunia sekolah, gagal dan berhasil dilihat dari banyak segi. Mari kita lihat dalam kreatifitas dan inovasi. Sekolah yang berinovasi dengan mengembangkan pendidikan non akademis sejalan dengan akademis, sekolah yang berinovasi dengan mendukung guru-gurunya melakukan inovasi sendiri-sendiri sesuai bidang studi yang diajarkannya, sekolah yang berinovasi dengan menyiapkan program-program pembelajaran yang sesuai perkembangan jaman, dan lain-lain.

Bisakah semua sekolah melakukan kreatifitas dan inovasi seperti itu? Bisa saja tetapi tentu harus dengan melihat kapasitas masing-masing. Tidak adil membandingkan sekolah yang uang sekolah pertahunnya mencapai dua sampai tiga ratus juta rupiah dengan yang maksimal dua juta rupiah perbulan. Inovasi sekolah pertama semisal membangun proyek “makerspace” (ruang/bengkel kerja) guru dan siswa untuk bebas berkarya. Bahan-bahan selalu tersedia, peralatan lengkap, pendamping siap sedia. 

Sementara sekolah yang satunya lagi, semua sumber dibatasi, jam kerja guru dibuat penuh hanya untuk mengajar sambil berharap menjadi “EO” sekaligus demi pengiritan. Ruangan untuk berkerja dengan peralatan lengkap tidak perlu karena semua ruangan telah habis tidak bersisa untuk menampung siswa yang diterima bersekolah di sana. Jauh sekali dengan memiliki harapan prestasi sekolah dari inovasi dan kreatifitas, kadang untuk prestasi akademis saja sulit. Sekolah model begini lebih banyak berharap jumlah siswa yang tetap ada, uang sekolah dipertahankan sebesar tertentu untuk menarik minat orang tua dapat menyekolahkan di situ, sekolah mengambil jalan aman untuk mengikuti semua kemauan dinas dengan segala kelngkapan administrasinya. Inovasi? Ah buang waktu, tenaga, pikiran dan uang. Kalau coba-coba inovasi berhasil, syukurlah, kalau tidak? Siswa berkurang, operasional makin terganggu.

Apakah berarti sekolah yang belum dapat berinovasi dan kreatif dianggap sebagai sekolah yang takut gagal? Sekolah yang tidak memanfaatkankan haknya untuk gagal? Kalau dia benar gagal dan tutup sekolahnya, siapa yang disalahkan?

Ide tulisan di atas, sebagai reaksi mendengar talk show mendikbudristek di podcast pak Gita yang bersemangat mengatakan jangan takut gagal, gagal adalah hak. Pak menteri pendidikan bisa memberi solusi? Yang bukan sekedar bernuansa motivator dan jargon bertransformasi? Kalau hanya bersemangat di wawancara saja, pastilah pelaksana di lapangan akan bingung, apa maksud takut gagal itu.

 

 

Merdeka! Lalu Bingung 

Mendekati tahun ajaran baru dengan kurikulum baru, tentu suasana akan terasa campur aduk antara gembira, kuatir maupun bingung.

Sebagai guru yang telah mengikuti 4 jenis kurikulum selama masa mengajar, memasuki kurikulum baru ini timbul kebingungan, entahlah. Mungkin juga karena namanya. Merdeka. Seakan selama ini belum merdeka ya.

Contoh kebingungan lain, lewat semacam jargon memulihkan pendidikan paska pandemi. Berlaku untuk siapa? Dipulihkan dengan diberi kemerdekaan? Merdeka dalam satu platform?

Dipersiapkan sebagai kurikulum yang memerdekakan murid dalam belajar. Contoh salah satu iklannya memberi info guru yang bingung harus bagaimana memulai pengajaran, lalu diberitahu bahwa si guru bebas menentukan materinya sesuai kecepatan belajar siswanya. Si guru bingung bagaimana cara tahunya. Disebutlah untuk melakukan terlebih dahulu asesmen di awal guna mendeteksi si siswa ada di posisi mana. Oh mudah ya. Iya, jadi setelah asesmen maka guru akan tahu kebutuhan siswa.

Ideal sekali bukan? Eh tapi asesmennya dari mana? Dari aplikasi platform merdeka mengajar. Ada beberapa tipe soal untuk menyesuaikan dengan kebutuhan siswa. Satu Indonesia, asesmennya sama dong ya? Lalu, jika siswanya sekelas 30 siswa? Jika mengajarnya 3-4 rombel? Atau banyak jenjang? Kira-kira bisa tertangani semua begitu?  Ya bisa dan jangan kuatir karena kemendikbud menyiapkan platform tadi yang hanya bisa diakses dengan akun belajar.id. Dalam platform tersebut, guru bisa saling berbagi rpp, ada asesmen yang sudah disiapkan (mau buat sendiri juga boleh), ada perangkat ajar, media ajar, pokoknya komplit. Gurupun semakin terdepan dengan penguasaan teknologi terkini. Semua dalam genggaman.

Bergerak bersama! Ya, kata-kata tersebut dipakai sebagai pemacu semangat berubah, eh bertransformasi maksudnya, dengan memakai kurikulum merdeka yang disesuaikan dengan kemampuan sekolah. Tidak perlu seragam semua. Bisa mulai dengan Mandiri Belajar, Mandiri Berubah atau Mandiri Berbagi.

Hal inti lain dari kurikulum ini adalah, siswa di tiap jenjang, akan belajar sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing, lebih ke fase siswa, jadi walau dalam satu kelas/jenjang yang sama bisa berbeda fasenya. Lalu misal jika siswa di SMA, tidak ada lagi jurusan yang diwajibkan. Maka tidak akan ada tes bersama satu bahan ajar topik tertentu untuk semua siswa, melainkan hanya ada asesmen. Bukan asesmen awal pelajaran yang tadi disebut di atas berarti ya, ini mungkin asesmen lain yang serupa dengan asesmen nasional (yang bagian kognitif). Asesmen sesuai makna katanya adalah memberi penilaian, ya tes juga, cuma di sini seperti penggunaan kata istimewa tersendiri “asesmen”, bukan tes.  Tes tidak ada namun digantikan oleh proyek dalam proses pembelajaran tersebut (PBL – Project Based Learning). Makin bingung? Ya sudah. Tidak apa-apa, kan baru.

Sekolah akan semakin menyenangkan, sekolah tanpa tes, namun melakukan proyek bersama, berkelompok, menumbuhkan semangat gotong royong siswa, tidak ada lagi siswa mengejar kemenangan individu melalui ranking. Wah ideal pokoknya. Sudah ada belum ya sekolah yang menarik siswa baru untuk mendaftar dengan menyertakan sekolah tanpa tes? Makin seru deh.

Proyek siswa akan seperti apa? Berapa banyak proyeknya? Batasannya seperti apa? Semoga tidak ada lagi kawan guru yang memberi proyek berujung siswa kelabakan dan tidak semua siswa dalam kelompok melakukan versi kerja yang sama. Proyek divideokan dan naik youtube channel dan faktor penentu penilaian berdasarkan jumlah view dan like.

Sekarang mari lihat perkara tanpa jurusan di SMA tadi. Bebas belajar mapel yang diinginkan. Siapkah sekolah jika jumlah siswa di setiap kelas yang dipilih tidak merata dan menyebabkan jam mengajar yang tidak merata? Oh ya katanya mendikbud, tunjangan sertifikasi tidak berdasarkan jam mengajar lagi. Ah senangnya. Akan bermasalahkah bagi sekolah? Dalam menentukan tugas gurunya?

Mungkin sekolah sudah memikirkan hal ini, untuk memudahkan kedua pihak, sekolah dan siswa (termasuk orang tua) maka sekolah bisa memberikan paket mapel saja, bukan jurusan ya, jurusan sudah tidak ada, tetapi katakanlah paket merdeka mapel kategori A, B, C dan lain-lain. Beda loh ya dengan jurusan. Terdengar beda tapi kok? … Pemberian paket demi kerapihan dan keadilan jam mengajar guru-guru suatu sekolah.

Kurikulum Merdeka. Merdeka belajar, belajar di mana saja, kapan saja, dengan siapa saja. Tidak membatasi guru mengajar lintas mapel. Biasa mengajar fisika, maka harus bisa juga mengajar pkn, biologi, bahasa, matematika, ekonomi dan lain-lain sesuai kondisi. Menarik sekali.

Sekarang mungkin tidak ada rangkaian kata-kata indah seperti KI/KD, melainkan menjadi Capaian Pembelajaran yang rangkaian kalimatnya lebih sederhana dan fokus. 

Semua guru memakai satu platform mengajar. Berbagi pengetahuan idealnya, ujungnya demi administrasi, saling ambil dokumen macam rpp, yang belum tentu berguna dan sesuai di kelas guru yang lain. Mengiming-imingi siswa bisa belajar sesuai pilihan tanpa melihat kesiapan faktor sekolah dan lingkungan, juga terkesan terlalu berani. Lalu jika sekolah (dalam kata kekinian “satuan pendidikan”) tidak siap maka katanya bisa disesuaikan. Seperti apa disesuaikannya? Seberapa fleksibel? Adakah kendala nanti di penilaian sekolah oleh para dinas pendidikan? Seberapa memiliki kuasakah si guru mengatakan bahwa juklak juknis tidak sesuai di kelasnya?

Pemulihannya jadi seperti apa? 

Kembali ke laptop. Sebagai pengajar di sekolah SPK yang menggunakan kurikulum internasional yang ujungnya juga ada tes standar sebagai tanda akhir menerima sertifikat, sebenarnya saya tidak akan terlibat langsung dengan pelaksanaan kurikulum merdeka ini. Sejauh melaksanakan mapel Pancasila, Bahasa Indonesia dan Pendidikan Agama, semua beres. Konsep merdeka tanpa jurusan di jenjang SMA sudah terjadi lama, konsep menilai melalui proyek sudah juga terjadi. Namun, sebagai pendidik yang sudah berkecimpung lama sekali di sekolah, tentulah ingin tahu, belajar, sebagai pembanding, untuk mengambil segala sesuatu yang positif.

Dengan asumsi kemendikbud memang ingin meniru sistem SPK tadi maupun SPK yang mengembangkan kurikulum mandiri, apakah semudah dan seideal itu untuk satu Indonesia, sekolah-sekolah berbagai penjuru daerah disamakan secara kondisi ideal saja dengan para SPK? Bukankah sebaik-baiknya harus dipikirkan secara menyeluruh dan konsep berkesinambungan yang mungkin tidak cukup hanya dalam 2,5 tahun pandemi? Heboh merdeka, berakhir serupa saja kecuali banyak ide kata-kata baru dengan saat Kurikulum 94 menjadi KBK, KBK menjadi KTSP, KTSP menjadi Kurtilas. Tergesa-gesa, adalah kunci. “Cookie cutter” adalah inovasi. Repot.

(Katanya) Refleksi Untuk Guru

Artikel Pilihan Kompasiana

Semoga bukan hanya semboyan, bergerak bersama, memulihkan pendidikan.

Bahwa guru berubah, diharap berubah, dipaksa berubah, bukan sekedar demi si guru saja tetapi bertujuan utama juga ke arah siswa dalam menempuh pendidikannya sebagai masa depan bagi bangsa ini.

Sekedar refleksi untuk diri sendiri:

Sudahkah menghargai prestasi siswa di luar akademik sekolah tetapi mejangkau prestasi nasional atau internasional? Guru bersedia mengintegrasikannya kepada mata pelajaran yang diampunya?

Sudahkah menilai prestasi siswa di luar bidang ajar guru tetapi berimbas pada pengetahuan si siswa? Guru bersedia mengintegrasikannya kepada mata pelajaran yang diampunya?

Sudahkah melihat proses belajar sebagai kesatuan utuh menilai siswa?

Sudahkah selesai dengan menakut-nakuti siswa seputar ujian? Atau seputar menganggap mapelnya paling harus dipentingkan?

Sudahkah berani keluar dari zona nyaman seputar memanfaatkan posisi guru berarti bebas menyuruh-nyuruh siswanya atau memberikan kegiatan yang kurang dipertimbangkan masak-masak demi yang penting ada kegiatan?

Sudahkah paham bahwa mengejar setifikat saja dengan meninggalkan tugas mengajar terus menerus adalah tidak mencontohkan proses belajar yang sesungguhnya?

Sudahkah mengerjakan rencana pembelajaran sendiri sesuai dengan perkembangan kelasnya daripada sekedar mengcopy dari sumber-sumber buatan guru lain yang disebarluaskan?

Sudahkah tidak menganggap diri sendiri sebagai pusat pengetahuan karena berstatus guru?

Sebaliknya, guru jangan dijadikan bemper. Dipuji-puji jika dibutuhkan, namun jika ditemukan kekurangan langsung menjadi yang paling disalahkan. Jangan pula disalahgunakan posisi guru untuk mengambil keuntungan dari bisnis pendidikan. Semua satu lingkaran besar jika membicarakan pendidikan.

Semboyan pulihkan pendidikan, semoga menjadi kenyataan.

Selamat Hari Guru, diriku, dan semua rekan Guru Indonesia.

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake