Manajemen Kelas ~ sebuah refleksi

Tahun ajaran baru telah dimulai. Rasanya hampir semua guru sedang mempersiapkan hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran satu tahun ke depan. Baik persiapan akademis, administrasi maupun pengelolaan kelas.

Seorang guru idealnya sudah memiliki “pengetahuan” dasar tentang bagaimana me-“manage” (mengelola) kelasnya dengan baik. Ia memiliki “sense” dalam melakukan panggilannya sebagai guru. Kalau tidak punya? nah ada baiknya berpikir kembali untuk menjalani profesi ini untuk seterusnya atau tidak. Berpikir sudah terlanjur? yaa sebaiknya jangan karena nanti pendidikan kita semakin terpuruk dong. Juga tidak terbawa arus yang mengatakan lulusan SMA sekarang semakin ingin menjadi guru mengapa saya tidak, itu artinya sudah enak deh menjadi guru, gajinya besar apalagi bisa PNS.

Peran manajemen kelas dalam keberhasilan pembelajaran di suatu kelas amatlah ditentukan oleh si guru sebagai manajernya. Ada beberapa pendapat (yang mungkin terdengar sebagai pembelaan diri) bahwa hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor kebijakan sekolah dan siswa-siswa di dalam kelasnya.

Kalau sekolah terkenal “strict” maka siswa lebih mudah diatur, guru sudah lebih santai. Kalau sekolah yang kebanyakan diisi oleh siswa bandel maka manajemen kelas lebih sulit, cenderung gagal. Menggunakan praktek manajemen kelas yang sama bisa memberikan hasil yang berbeda pada dua kelas yang berbeda latar belakang tadi. Sulit memang, tetapi di situlah sikap seorang guru profesional akan lebih berperan dalam menjalankannya (semoga 🙂 ).

Berdasarkan definisinya kita lihat dua arti dari manajemen kelas:
1. Mengatur (menetapkan dan menjaga) lingkungan belajar siswa yang mencakup sikap atau tingkah laku dan keadaan fisik kelas.

2. Menentukan kedisiplinan – menciptakan atmosfir konsistensi, fleksibilitas dan saling menerima.

Guru juga memiliki kebiasaan untuk menetapkan peraturan-peraturan di dalam kelas yang bertujuan menjembatani komunikasi antara siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru. Jika guru memegang tanggung jawab sebagai wali kelas maka si guru mungkin akan membuat peraturan kelas yang lebih general, termasuk di dalamnya visi misi kelas, atau bisa juga pernyataan komitmen kelas yang diusulkan sendiri oleh para siswa dan wali kelas tinggal merangkumnya. Contoh peraturan yang umum bisa seperti berikut ini:
1. Dengarkan segala instruksi dengan baik!
2. Ikuti perintah dengan cepat dan akurat!
3. Acungkan tangan jika ingin bicara ataupun meminta ijin meninggalkan kelas!
4. Saling menghormati antar sesama teman dan hormat pada guru!

Jika guru memegang tanggung jawab sebagai guru bidang studi, maka bisa juga dibuat peraturan sederhana per bidang studi. Sebaiknya mengkomunikasikan peraturan inipun secara tertulis, di atas kertas, di tempel di dinding kelas (bagi guru yang memiliki kelas khusus untuk bidang studi yang diampunya), maupun di webblog guru / sekolah yang memudahkan siswa dapat mengakses sewaktu-waktu. Tujuan secara tertulis karena siswa memiliki setidaknya 10 bidang studi yang harus dia ikuti setiap minggunya. Bayangkan jika peraturan dalam satu bidang studi hanya dibacakan guru di awal perkenalan tahun ajaran atau sebaliknya dibuat sangat detil berlembar-lembar, siswa malah akan bingung berapa banyak yang harus dia baca dan pahami 🙂 Itulah mengapa sebaiknya dibuat singkat, jelas dan sederhana.

Dari pelatihan guru KTC yang saya ikuti, peserta diingatkan dengan diberikan contoh-contoh beberapa gaya manajemen kelas yang dapat diterapkan kita sebagai guru di dalam kelas masing-masing berdasarkan tipe / gaya gurunya:

Guru Otoritatif
1. Menentukan batasan dan kontrol terhadap siswa tetapi secara simultan juga mendorong partisipasi aktif siswa.
2. Sering menjelaskan alasan di belakang peraturan dan ketetapan.
3. Cukup fleksibel dalam aturan hanya dengan pertimbangan yang hati-hati dengan keadaan di lapangan.
4. Jika siswa melakukan kesalahan, guru memberikan teguran yang tegas namun positif (sopan).
5. Siswa mengetahui bahwa mereka dapat menginterupsi guru jika mereka memiliki pertanyaan atau komentar yang relevan.
6. Siswa memiliki kesempatan untuk belajar dan mempraktekan kemampuan untuk berkomunikasi.
7. Lingkungan belajar penuh dengan pujian dan dorongan semangat.
8. Guru selalu memberikan perhatian dan kata – kata yang positif kepada seluruh siswa.

Guru Otoriter
1. Menentukan batasan dan kontrol yang keras terhadap siswa.
2. Kelas lebih terlihat tenang karena siswa tahu mereka tidak dapat menginterupsi gurunya.
3. Siswa hanya perlu mengikuti perintahnya dan tidak perlu bertanya kenapa.
4. Guru mengatakan kepada siswa apa yang harus dikerjakan dan kapan melakukannya.
5. Siswa sangat jarang menerima dorongan dan pujian.
6. Siswa tidak memiliki kesempatan untuk belajar dan mempraktekan kemampuan untuk berkomunikasi.
7. Siswa hanya perlu mendengarkan ceramah dari guru untuk memperoleh pengetahuan.

Guru “Laissez-faire”
1. Memiliki tuntutan dan kontrol yang rendah terhadap siswa.
2. Guru berusaha untuk tidak menyakiti perasaan siswanya dan sangat sulit untuk berkata “jangan” kepada siswa.
3. Jika ada siswa yang mengganggu di kelas guru berpikir bahwa itu kesalahan dia karena dia tidak cukup memberikan perhatian.
4. Guru menerima semua interupsi dari siswa karena yakin siswa memiliki sesuatu yang berharga yang ingin dikatakan.
5. Guru lebih memperhatikan perasaan siswa daripada kontrol terhadap kelas.
6. Guru ingin menjadi teman bagi siswa-siswanya.

Guru tidak acuh
1. Guru tidak mau terlalu ikut campur dengan urusan di kelas.
2. Guru tidak memiliki harapan yang terhadap kelas.
3. Guru merasa bahwa siswa seharusnya bertanggung jawab dengan cara belajar mereka sendiri.
4. Guru tidak pernah meng”update” lesson plan mereka.
5. Guru memiliki kekurangan dalam kemampuan, rasa percaya diri dan dorongan untuk mendisiplinkan kelas.
6. Guru hanya memberikan pelajaran sekitar 20 menit kemudian membiarkan siswa belajar sendiri asalkan tidak berisik. Guru tidak terlalu peduli apa yang dikerjakan siswa asalkan mereka tidak berisik.

Di manakah posisi anda berdasarkan gaya tersebut? Tentu saja tidak ada kewajiban atau harus memastikan hanya satu pilihan dari keempat tipe guru tersebut. Bisa saja merupakan kombinasi dari beberapa poin yang disebutkan sebagai contoh. Intinya bukan mencari kesamaan tipe kita mengatur kelas kita sendiri berdasarkan teori saja, tetapi bagaimana kita selalu memperbaharui cara kita mengatur kelas sambil sekaligus memperbaharui metode pembelajaran kita di kelas sehingga menjadi saling terintegrasi di mana hasilnya tentu saja diperuntukan bagi kebaikan dan kemajuan para siswa pada khususnya dan dunia pendidikan kita pada umumnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake