Sekolah dan “Sekolah”

“Selamat Hari Pendidikan Nasional”

Apakah anak-anak / siswa kita pernah mengalami hal seperti gambar di bawah ini? Ataukah Bapak/Ibu Guru yang justru sibuk memberikan nama tes apakah yang akan dilalui siswa? *Bahan Perenungan*

Screen Shot 2016-05-02 at 7.18.47 AM
Picture taken from: http://languagetesting.info/humour/fun.php

_____________________________________________________________________

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata “Sekolah” memiliki beberapa arti berikut:

se·ko·lah n 1 bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran 2 waktu atau pertemuan ketika murid diberi pelajaran 3 usaha menuntut kepandaian (ilmu pengetahuan).

Sebagai bangunan / gedung, harus memiliki ijin mendirikan bangunan, Sebagai tempat memberi pelajaran, harus memiliki ijin operasional sekolah. Sebagai usaha siswa menuntut kepandaian, harus memiliki ijin sertifikat telah terakreditasi.

Belajar itu gratis, tetapi meraih sebuah catatan atas pengakuan akan hasil belajar di atas selembar kertas, membutuhkan biaya, demikian ungkapan seseorang di media sosial yang menarik perhatian saya.

Dulu, ungkapan anak harus sekolah untuk menjadi pintar. Sekarang, mungkin tidak sesederhana itu. Karena menjadi pintar banyaklah faktor pendukungnya. Anak itu sendiri, orang tua, lingkungan, dan sekolah. Ada anak yang baru masuk ke suatu SMP / SMA, lalu ikut kompetisi nasional, dan juara 1, lalu sekolah sangat bangga, pasang spanduk kemenangan di beberapa titik, padahal anak tersebut pintar karena sudah pintar. Sekolah bangga? iya, (kurang lebih) sebagai tempat tumpangan si anak mengambil ijasah formalnya saja.

Saya pribadi masih menyebut dan mengakui bahwa menempuh pendidikan usia sekolah itu penting. Bukan karena saya berprofesi sebagai guru, namun ada hal-hal yang memang baik bagi anak-anak untuk mengenal dunianya bersama teman sebaya melalui lembaga sekolah. Namun kadang menjadi miris jika memang sekolah hanya penting untuk sebuah pengakuan saja. Pengakuan telah berhasil melewati suatu level usia tertentu atau di jenjang tertentu. Belajar tak mengenal usia (teorinya), tetapi nuansa di sini, usia 12 tahun hendaknya selesai SD, usia 15 tahun hendaknya selesai SMP, usia 18 tahun hendaknya selesai SMA, usia 23 tahun hendaknya selesai S1, dan 26 tahun hendaknya selesai S2. Di luar itu, wah pasti anak ini ada masalah.

______________________________________________________________________

Senangkah orang tua jika anaknya dapat bersekolah? Rasanya sih iya. Sebagian orang tua (termasuk saya *hiks), lebih merasa aman dan senang anaknya berada di sekolah daripada liburan berkepanjangan dan “berisik” di rumah 😉 . Beruntungnya saya memiliki anak yang suka ke sekolah. “Yaahh libur (merengut)”, “mau tanding bola dulu ma di sekolah”, “asik ada peltam (pelajaran tambahan) jadi lamaan di sekolah”…. Sambil menambah kerjaan saya untuk berpikir, ini beneran suka atau “suka” 😉

Tapi tahukah para orang tua dan pihak yang berkompeten di sekolah (guru, kepala sekolah maupun pemimpin yayasan sekolah) bahwa si anak dengan mudah mengatakan “sudahlah, di sekolah yang penting bertemu teman, daripada di rumah “mager” (malas gerak), tadi gurunya menjelaskan apa juga saya tidak mengerti, nanti tanya guru les saja lah”. (Baru-baru ini, ada anak yang curcol demikian  #aduuhh).

Guru les lagi….. Memang sekarang sudah ada alih fungsi sekolah yang sebagai tempat belajar tadi kepada sekolah yang beneran hanya menjadi lembaga formal, tempat berkumpul teman sebaya, tempat berteman (siswa dengan siswa, guru dengan guru, siswa dengan guru, menambah jumlah teman di facebook dan social media lain). Karena sudah ada banyak “sekolah” lain yang mampu menyelenggarakan pendidikan akademis, kecuali mengeluarkan ijasah kelulusan suatu jenjang pendidikan secara formal.

Dari beragam sosial media pula saya menemukan lembaga bimbingan belajar yang menawarkan jasanya, yang selalu disertai dengan iming-iming bahwa “anda bisa”. Menjadi motivator memang sudah menjadi era “kekinian”.

Siswa memang sering dijadikan komoditi untuk bisnis berbalut pendidikan ini. Gaya promosi bimbingan les kian marak dan semakin menunjukkan kalau eksistensi mereka memang sangat dibutuhkan siswa dan orang tua. Menunjukkan foto-foto kertas ulangan siswa yang belajar di tempatnya dan memperoleh nilai ulangan di atas 90 di sekolah siswa masing-masing. “Kalian ingin seperti ….(nama siswa yang dipajang memegang kertas ulangannya yang di sekolah memperoleh nilai di atas 90)…., silahkan bergabung bersama kami….”

Luar biasa bukan? Beberapa foto siswa yang dipajang kebetulan saya kenal, dan saya memang tahu persis, bahwa anak-anak tersebut kebetulan memiliki kecerdasan akademis yang tinggi. Jadi tidaklah heran mereka memang menambah ilmu di les dan mendapatkan hasil yang baik pula.

Bagaimana dengan anak yang memang benar-benar harus mendapat perhatian lebih, dibimbing lebih? Di sekolah “seperti ditolak” oleh gurunya dan diminta belajar sendiri di rumah. Pergi ke tempat les, modelnya seperti sekolah kedua, isinya lembar kerja melulu dan lagi-lagi gagal.

Jika bimbingan belajar sudah bisa menyelenggarakan les dengan jumlah siswa mencapai 10 siswa per kelas dan memfasilitasi dengan lembar kerja yang dibuat dengan khusus untuk siswa sekolah tertentu, ruangan seperti ruang kelas, meja kursi seperti di sekolah formal, sebenarnya tinggal menunggu adanya UU resmi yang mengatur belajar di rumah bisa menjalani ujian kesetaraan sesuai standar resmi pemerintah yaitu mengikuti Ujian Nasional.

Kalau sampai bisa begitu, sekolah musti waspada dan mulai berpikir, apa benar sekolah sebagai satu-satunya tempat belajar lagi? Saat ini memang masih banyak opini yang menyatakan sekolah bukan hanya tempat belajar akademis tetapi bersosialisasi, mendidik secara karakter, mencerdaskan anak bangsa secara umum karena sekolah menjangkau masyarakat luas, dan seterusnya. Jadi posisi sekolah masih aman sekarang karena semua “sekolah” (baca bimbel) itu kan hanya akademis. Namun, siapa yang tau akan jadi seperti apa dalam beberapa tahun ke depan.

___________________________________________________________________

Kadang sedih dan senyum sendiri melihat foto-foto kertas ulangan yang bertaburan nilai 90 dan 100, dari prestasi siswa-siswa yang berkemampuan tersebut. Tetapi adakah yang mau menyentuh siswa yang sangat biasa-biasa saja kemampuan matematikanya di sekolah, umpamanya?

Ada siswa yang sudah dua semester selalu mendapat nilai rata-rata ulangan 50%, menutup semester ketiganya dengan 61% atau bahkan 67%, bukankah sebuah kemajuan? Selalu terlihat masih gagal karena sudah terlalu banyak orang mematok dengan KKM. KKM 70, 65 adalah gagal. Usahanya meningkat 15% belum terlalu dipandang.

Atau adakah bimbingan belajar yang mau “mempromosikan” siswa yang frustasi tidak bisa menjawab soal dengan benar malah menjawab seadanya? Salah satu foto semacam ini tentu saja ada dan sering hanya sebagai “meme” lucu-lucuan. Bagaimana sikap kita menghadapi ini? Lucu benaran atau berpikir untuk mengganti pola test umum (tes individu berbeda untuk tipe anak macam begini?)

IMG_2414

Atau foto berikut, siswa yang mampu meningkat 15% namun tetap dianggap di bawah (karena di bawah KKM tadi?).

IMG_2528

Artikel ini saya akhiri dengan cerita berikut (sebagai perenungan lagi), saya kemas dalam bentuk menyerupai penulisan di  twitter, karena jika tidak, akan terlalu panjang menceritakan betapa masih ada (bahkan mungkin banyak) kejadian seperti di bawah ini:

Kemaren melihat lembar kerja matematika seorang siswa kelas 6. Nilai 50%, dan ditulis “malas berpikir”.  

Konon ini bukan yang pertama, beberapa kali ditulis “malas”, “tidak belajar”, “asal-asal”. Kata si anak, bukan hanya tulisan namun verbal.

Verbal? Jadi ingat guru yang suka melakukan ini. Rupanya mental begitu laris juga.

Anak ini bukan tergolong cerdas matematika, menghitung 12×45 saja masih suka grogi. Tetapi nilai rapor yang dicapai bisa 74 karena kkm sekolah 70 #tiranikkm 

Si anak stress dan semakin apatis. Si orang tua bingung, ingin mengajukan komplen sejak bbrp bulan lalu. 

Tetapi ditunda terus karena ketakutan berulang kejadian yang sama, sehabis didatangi sekolahnya, si anak jadi korban ditekan guru.

Sebagai guru saya ditanya, mengapa ada guru begitu? Saya tidak bisa menjawab, karena ikut tidak habis pikir, kok ya ada guru begitu. *ada lah Hed*

Guru yang bersangkutan mungkin tergolong guru “jeniyes” yang ingin “produk” jadi. Bukan urusan saya dong kamu gak bisa, les saja sana.

Pokoknya “under pressure” ke anak-anak supaya di akhir hari nilai UN nya bagus, tuh kan untung juga saya “kejam”, buktinya nilai bagus kan? #hiks

Mungkin beliyaw memiliki bisnis les besar-besaran. Memiliki jiwa sosial memakmurkan sesama guru les. 

Guru matematika sepertinya senang sekali berpikir kalau matematika itu mudah dan menyenangkan. #halah 

Ortu ini bercerita juga ada teman anaknya yang gara-gara sering dapat nilai jelek dan dikatai si guru dan ditulisi macam-macam di lembar kerjanya…

…maka anak tersebut sering dipukuli ibunya di rumah dan datang ke sekolah dengan tangan biru-biru    🙁 

Guru “jeniyes” ketemu ortu kurang paham dirinya ortu, klop. Bahkan menyadari siswanya mendapat masalah di rumahpun si guru tidak mampu. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake