Additional Mathematics – Pilihan Kelas Siswa Pintar (kah?)

imageHampir 18 tahun menjadi guru matematika sekolah menengah pertama dan atas, ini menjadi tahun pertama saya menjalani tugas mengajar di kelas “Additional Mathematics”, sebuah kelas dari program Cambridge Curriculum. Dengan silabus yang telah disiapkan secara detil oleh mereka, kami para guru seperti biasa menjadi lebih mudah dengan mengikuti silabus dan skema kerja yang sudah rapi, dan kami hanya melakukan penjadwalan pembelajaran ulang mengikuti jadwal sekolah, yang dikenal dengan “lesson plan”.

Cambridge International Exam, menyediakan exam di kelas 10 (upper Secondary), dengan pilihan banyak mata pelajaran, salah satunya adalah Additional Mathematics (A-Math), yang konon diminati karena menunjukkan “kebanggaan” sekaligus “kemudahan”. Additional berarti tambahan, maka banyak materi yang ditambahkan dan lebih mendalam dibanding kelas matematika normal. Kebanggaan, karena dengan mengambil kelas ini, sudah menunjukkan punya dasar hitung matematika yang baik, konon pintar matematika cenderung pintar akan hal-hal yang lain. Kemudahan, karena konon jika ingin melanjutkan pendidikan di universitas unggulan yang berhubungan dengan jurusan teknik maka makin dipermudah dan memiliki peluang lebih besar.

Apakah benar? Menurut saya? Bisa jadi benar, tapi sangat tidak mutlak 100 persen.

Jika seorang siswa memiliki pengetahuan dasar hitung matematika yang baik, plus dia tetap rajin belajar dan mempertahankan ketekunannya tersebut, sudah pasti tidak akan mengalami kesulitan yang berarti pada saat mengambil kelas ini.

Sebaliknya, jika siswa masuk dalam kategori pengetahuan dasar hitung matematika yang  biasa-biasa saja tetapi punya niat dan semangat yang kuat dalam belajarnya, dia juga memiliki peluang berhasil lulus di mata pelajaran ini yang hampir sama dengan yang disebut duluan  di atas.

Namun yang perlu diingat, siswa tidak perlu berkecil hati jika tidak memiliki kemampuan luar biasa di dalam problem matematika. Ingatlah bahwa problem dalam kehidupan nyata memiliki banyak jenis dan variabel. Kecerdasan bernalar siswa bukan hanya dinilai dari kemampuan berhitungnya saja.

Terlepas dari masalah penalaran tadi, dengan keragaman variasi berhitung yang jauh lebih banyak, siswa yang masuk kategori tidak cerdas secara matematis tidak perlu memaksakan diri untuk mengikuti pembelajaran dan ujian di kelas ini. Ada kelas matematika dasar untuk level usia kelas 10 normal, yang juga sudah menyesuaikan tingkat kemampuan siswa, dengan dibagi lagi sebagai “core” (basic) dan “extended” (advance).

Permasalahan selalu terjadi pada pola pikir. Pola pikir orang tua yang ingin anaknya diterima di universitas ternama yang memberikan standar harus memiliki nilai dari A-Math. Lingkungan anak sendiri yang sesama teman saling gengsi, anak pintar matematika lebih favorit dan banyak teman. Dan yang paling menyedihkan mungkin datang dari sekolah sendiri yang  memiliki program jika siswa mengambil kelas pelajaran fisika dan kimia berarti sudah harus sepaket dengan A-Math. Kelas nomor satu 🙂

Sayapun mengamati,  banyak rekan guru yang mengajar matematika sering terpaku pada pola “soal susah harus membuat anak menjadi susah”. Dalam definisi saya, soal susah bukan berharap siswa akan kesusahan dan tidak dapat menjawab, tetapi berapapun susahnya soal itu justru memacu siswa untuk mencari solusinya dan mereka tetap bisa jawab.  Justru dengan soal susah itulah, siswa belajar mencari solusi dan tugas kitalah yang membantu membukakan solusinya, memberikan konsepnya, sehingga mereka dapat merekam pola jawabannya, mencampurnya dan menuangkan kembali jika dihadapkan pada soal lain.

Di perjalanan semester pertama ini, saya menerima satu siswa pindahan dari kelas mata pelajaran lain. Dia memiliki alasan bahwa dia menyukai tantangan dan senang berhadapan dengan angka dan walaupun telat akhirnya memutuskan bahwa mata pelajaran A-Math ini lebih cocok baginya dibanding bidang bisnis. Singkat cerita bergabunglah siswa ini di kelas saya dan saya setuju, siswa ini memiliki kecocokan bergabung di A-Math. Siswa yang cerdas, cerdas memilih yang tepat bagi dirinya dan yang terpenting anak ini bahagia dengan pilihannya.

Sementara di sisi sebaliknya, dua siswa di kelas saya, mengundurkan diri, dengan alasan yang kurang lebih sama, tidak mampu terus menerus berhadapan dengan angka, hitungan, rumus, aplikasi, dan semua kombinasinya. Satu dari dua siswa itu harus berhadapan dengan orang tuanya yang masih menaruh harapan agar tetap mengambil A-Math demi kemudahan memasuki universitas yang akan dituju nanti. Lambat laun, orang tua pun mengerti dan sangat mendukung sang anak. Sayapun bangga dengan anak ini, dia bisa menceritakan kesusahannya bergelut dalam belajar, berusaha mencari solusi, tiap hari sampai rumah jam 7 malam untuk pelajaran tambahan, tetapi yang terjadi, otaknya tidak sanggup menerima sebanyak itu, A-Math tetap “struggle”, pelajaran lain keteteran, merasa tertekan. Usia 14 tahun harus hidup setertekan itu? Tidak ada kegembiraan belajar lagi. Jadi saya sangat mendukung keputusannya dan percaya bahwa anak ini akan berhasil suatu hari nanti.

Sebagai siswa, jangan jadikan belajar sebagai beban apalagi jika siswa berada pada posisi diuntungkan dalam arti siswa mendapat kesempatan memilih mata pelajaran yang ingin diambilnya. Ambillah yang cocok dan memberikan lebih banyak peluang untuk bisa dikembangkan di kemudian hari.

Lebih ideal lagi, jika sebagai siswa bisa memahami apapun mata pelajarannya, kalau dijalankan dengan sebaik-baiknya, maka kemungkinan merasa terbeban bisa dihindari. Keuntungan bukan hanya diraih saat ini, tetapi bisa di kemudian hari. Belajar dan bahagia, dua kata bertolak belakang bagi siswa, benar bukan? 🙂

Percayakah sebagai siswa bahwa jika bahagia dengan apa yang kita pelajari maka apapun pelajarannya akan lebih mudah dipahami dan hasilnyapun (semoga) akan lebih baik. Seperti dalam hidup, kurang lebih sama, kita menjalani dan bersyukur, hidup kita senantiasa lebih bahagia.

Siswa juga kadang dihadapkan pada dua sisi, jika percaya diri mengatakan dirinya pintar, kesan pertama adalah sombong, lalu bagi orang tua atau teman beranggapan hal itu bukan disebut pintar tapi curang atau biasa saja. Tetapi jika selalu mengatakan dirinya tidak pintar, secara psikologis makin menghambat dirinya untuk percaya diri bahwa dirinya sanggup.

Karena pintar itu beragam dan setiap orang berhak mendefinisikan kepintarannya jika dibarengi dengan tindakan nyata dan hasil. Pintar berbahasa, pintar mengeluarkan pendapat, pintar mengatur keuangan, pintar menganalisa fakta sejarah, pintar mendisain / menggambar, pintar mengelola tangga nada, pintar dalam berolahraga, pintar  dalam kemampuan interpersonal, pintar memasak, dan segala pintar-pintar positif yang lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake